-->

RAMALAN BINTANG

إن الحمد لله، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، أما بعد

Sesungguhnya Alloh -subhanahu wa ta’ala- telah menciptakan manusia pada mulanya berada di atas agama yang lurus dan fithroh yang suci, sebagaimana dalam sebuah hadits qudsiy, dari ‘Iyadh bin Himar Al-Mujasyi’iy -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Muslim, bahwasanya Alloh –ta’ala- berkata:

وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ، وَحَرَّمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ، وَأَمَرَتْهُمْ أَنْ يُشْرِكُوا بِي مَا لَمْ أُنْزِلْ بِهِ سُلْطَانًا

“Sesungguhnya Aku telah ciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus. Lalu datanglah para setan, lalu menyimpangkan mereka dari agama mereka. Mengharamkan apa yang telah Aku halalkan dan memerintahkan mereka untuk menyekutukanku (berbuat kesyirikan) dengan apa yang tidak Aku turunkan hujjahnya.”

Tidaklah orang itu tersesat dan berbuat syirik, melainkan karena ulah setan. Pada awalnya manusia belum mengenal kesyirikan, mereka masih di atas agama yang lurus (hanif) yang telah dikaruniakan oleh Alloh -subhanahu wa ta’ala-. Namun setelah berjalan beberapa abad, setan datang menggoda sekelompok manusia untuk mengkultuskan orang-orang sholeh yang telah wafat, sampai mereka disembah. Sehingga terjadilah kesyirikan pertama di dunia ini, yaitu kesyirikan kaum Nuh. Maka Alloh -subhanahu wa ta’ala- mengutus Nabi Nuh -’alaihis-salam- untuk mengembalikan keadaan manusia kepada ajaran tauhid dan mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik.

Kemudian selang beberapa lama, muncullah di tengah-tengah manusia bentuk kesyirikan lainnya, yaitu ketergantungan kepada bintang-bintang dan menyembahnya disertai dengan keyakinan bahwa bintang-bintang tersebut dapat mendatangkan kemanfaatan dan menolak mara bahaya (kesyirikan kaum Ibrohim). Karena itu, Alloh -subhanahu wa ta’ala- mengutus Rosul dan Kholil (kekasih)-Nya Ibrohim -’alaihis-salam- untuk membantah dan mengalahkan hujjah para pelaku kesyirikan serta menerangkan kebatilan peribadatan dan rusaknya keyakinan mereka. Ketika mereka tidak mampu lagi menjawab hujjah Nabi tersebut, maka mereka melakukan jalan kekerasan. Sehingga mereka memutuskan untuk melemparkan Nabi Ibrohim -’alaihis-salam- ke dalam kobaran api yang besar. Mereka sangka bahwa itu adalah jalan keluar yang jitu. Akan tetapi, Alloh -subhanahu wa ta’ala- menjadikan api itu terasa dingin dan mendatangkan keselamatan bagi Ibrohim -’alaihis-salam-. Setelah makar mereka gagal, maka mereka mengusir beliau dan berlepas diri dari dakwah beliau. Maka Alloh -subhanahu wa ta’ala- membalas makar mereka dan jadilah mereka orang-orang yang terhinakan.

Demikianlah seterusnya, tidaklah kita dapati suatu umat yang menentang Nabinya, melainkan karena terjerat oleh tali-tali setan yang terpancang, sehingga mereka terbujuk dengan godaannya dan menjadikannya sebagai wali selain Alloh. Tidaklah manusia tersebut terjatuh ke dalam jeratan tersebut, melainkan Alloh telah mengutus para Rosul kepada mereka untuk menentang kesyirikan dan memutus sebab-sebabnya serta menyeru manusia kepada ajaran tauhid; mengesakan Alloh dalam peribadahan, sebagaimana firman Alloh -subhanahu wa ta’ala-:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا الله وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan: “Sembahlah Alloh saja dan jauhilah thoghut (yaitu setan dan apa saja yang disembah selain Alloh) itu.” (QS. An-Nahl: 36)

Diantara bentuk kesyirikan terbesar adalah yang berkaitan dengan bintang-bintang, pengagungan terhadapnya serta keyakinan bahwasanya bintang-bintang tersebut hidup dan bisa berbicara serta mempunyai kekuatan spriritual yang turun kepada para penyembahnya. Keyakinan seperti inilah yang mendorong penganutnya untuk membangun kuil-kuil atau candi-candi yang berisi patung-patung sebagai perwujudan dari bintang-bintang tersebut. Semuanya itu bermula dari pengagungan terhadap bintang-bintang dan dugaan adanya keberuntungan dan kesialan padanya serta terwujudnya kebaikan dan kejelekan darinya. (lihat: Miftah Daris-Sa’adah, karya Ibnul Qoyyim -rohimahulloh-: 2/197)

Kesyirikan ini dianut oleh para filosof, shobi’ah (penyembah bintang), Majusi dan selain mereka dengan menyakini keyakinan nenek moyang mereka dari kaum Nabi Ibrohim -’alaihis-salam-. Dahulu mereka tersebar di sekitar jazirah Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Ketika beliau diutus, praktek perdukunan telah merebak di kalangan manusia dan keyakinan tentang bintang-bintang yang dikaitkan dengan beberapa kejadian di bumi telah masyhur di kalangan mereka. Maka Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- membantah keyakinan tersebut dan menerangi umat beliau dari kegelapan serta menerangkan al-haq kepada mereka, memperingatkan mereka dari penyebab-penyebab kebinasaan. Sehingga beliau meninggalkan mereka di atas jalan yang terang, malam bagaikan siang. Tidaklah seorang pun yang menyimpang darinya, melainkan akan binasa.

Diantara perkara yang beliau peringatkan darinya adalah pengakuan untuk mengetahui perkara gaib dan keyakinan bahwa bintang-bintang ini berpengaruh terhadap kejadian-kejadian di alam ini secara luar biasa. Hal ini untuk menjaga umat ini agar tidak terjatuh kepada apa yang umat-umat terdahulu terjatuh berupa kesyirikan terhadap bintang-bintang dan menjadikannya tuhan-tuhan selain Alloh.

Demikianlah keadaan kaum muslimin pada waktu itu, tidaklah seorangpun mengaku mengetahui ilmu gaib, pastilah mereka akan memperingatkan manusia untuk menjauhinya. Jika datang kesempatan untuk mencelanya, pasti mereka akan mencelanya. Tidaklah mereka membiarkan pintu kejelekan itu terbuka untuk dimasukinya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Kholifah Umar bin Al-Khotthob -rodhiyallohu ‘anhu- ketika memerintahkan pasukannya yang telah menguasai Iskandariyyah untuk membakar seluruh kitab-kitab filsafat dan ahli nujum yang mereka temui di sana, sebagai upaya untuk menutup pintu kesyirikan dan peribadatan kepada bintang-bintang. (lihat: Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam -rohimahulloh-: 17/41)

Hal ini berlangsung selama bertahun-tahun. Akan tetapi musuh-musuh Islam tidaklah tinggal diam melihat kemurnian Islam dan kemapanan umatnya pada waktu itu. Mereka terus mencari celah untuk merongrong kaum muslimin. Jika mereka temukan suatu celah atau sedikit kelengahan dari kaum muslimin, pastilah akan mereka manfaatkan semaksimal mungkin untuk mewujudkan makar-makar mereka yang bertujuan akhir menjauhkan umat Islam dari agama mereka.

Kemudian pada zaman pemerintahan ‘Abbasiyyah, dibukalah pintu penerjemahan kitab-kitab filsafat. Para penganut kesyirikan tersebut mulai menemukan celah untuk mewujudkan rencana mereka. Mereka mengerahkan seluruh tenaga dan waktu, sehingga mereka berhasil mempengaruhi pemerintahan waktu itu untuk menjalankan suatu metode yang mereka inginkan, seperti yang dilakukan oleh raja-raja Persia dan Romawi dengan mengambil para ahli nujum sebagai para penasehat di segala bidang.

Mereka juga berhasil mempengaruhi masyarakat muslimin ketika itu, sehingga sebagian kelompok Islam condong kepada mereka dan bekerjasama serta bersepakat untuk mengembalikan kejahiliyah-an pertama di tengah-tengah kaum muslimin dan mendukung mereka di setiap waktu dan tempat dengan menggunakan cara-cara yang bisa mempengaruhi manusia untuk menerima kebatilan mereka dengan sepenuhnya.
Melihat hal itu, para ulama kaum muslimin pun bangkit dari berbagai penjuru untuk membantah kebatilan ini, mendustakan dan menerangkan kerusakannya serta kebinasaan orang yang memeluknya. Akan tetapi, sebagian dari orang-orang awam tertipu dan hanyut dengan ucapan-ucapan manis mereka, sehingga menjadikan ilmu nujum sebagai profesi dan sandaran ketika tertimpa bencana atau musibah.

Pada zaman ini, setelah majunya berbagai sarana media masa, bertambah pula semangat mereka untuk terus menyebarkan para ahli nujum yang semuanya ikut serta mengambil bagian dalam membicarakan sesuatu perkara yang tidak mereka ketahui dan berbuat lancang terhadap Alloh tanpa sandaran yang benar.

Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Alloh, risalah sederhana ini sebagai bentuk partisipasi untuk menjelaskan tentang kebatilan ramalan bintang yang merupakan hasil dari penerapan ilmu nujum (perbintangan) yang dilarang dalam syariat Islam.

ALLOH-LAH SATU-SATUNYA PENCIPTA DAN PENGATUR ALAM SEMESTA

Alloh -subhanahu wa ta’ala- telah menerangkan hal ini dalam kitab-Nya dengan seterang-terang penjelasan yang tidak tersamar sedikitpun di dalamnya, bahwasanya Dialah satu-satunya dzat yang menciptakan seluruh apa yang ada di bumi ini untuk kemanfaatan manusia dan hanya Dialah yang mampu mengatur alam semesta ini serta tidak merasa payah sedikitpun dalam pengaturannya. Adapun matahari, bulan, bintang-bintang dan seluruh makhluk Alloh tidaklah mempunyai kemampuan untuk mengatur alam ini. Keyakinan bahwa selain Alloh -subhanahu wa ta’ala- ada yang mengambil bagian dalam penciptaan dan pengaturan alam semesta ini, maka itu adalah termasuk kesyirikan dan kekufuran, bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran. Firman Alloh –ta’ala-:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً

“Dia-lah Alloh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian.” (QS. Al-Baqoroh: 29)

الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dia tidak mempunyai anak dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan-Nya. Dia telah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya (sesuai dengan naluri, sifat-sifat dan fungsinya masing-masing dalam hidup).” (QS. Al-Furqon: 2)

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآياتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dia telah menundukkan untuk kalian apa yang di langit dan di bumi semuanya, sebagai rahmat dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Alloh bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyyah: 13)

إِنَّ رَبَّكُمُ الله الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثاً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ الله رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Robb kalian ialah Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia tinggi di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat dan diciptakan-Nya pula matahari, bulan dan bintang-bintang masing-masing tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. Maha suci Alloh, Robb semesta alam.” (QS. Al-A’rof: 54)

أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ الله الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَمْ يَعْيَ بِخَلْقِهِنَّ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى بَلَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير

“Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Alloh yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, berkuasa untuk menghidupkan orang-orang mati? Benar, sesungguhnya Dia maha kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Ahqof: 33)

TIADA YANG MENGETAHUI PERKARA GAIB, KECUALI ALLOH SEMATA

Hal ini telah Alloh terangkan dalam kitab-Nya dengan sempurna ketika memerintahkan Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa sallam- untuk meyampaikan kepada manusia bahwa tiada seorang pun mengetahui perkara gaib kecuali Alloh –‘azza wa jalla- tiada sekutu bagi-Nya, baik dari kalangan malaikat, jin-jin bahkan para nabi sekalipun. Siapa yang mengaku mengetahui perkara-perkara gaib, maka ia telah terjatuh ke dalam kekufuran, karena menentang ayat-ayat Al-Quran. Alloh -subhanahu wa ta’ala- berfirman:

قُلْ لا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا الله

“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Alloh.” (QS. An-Nahl: 65)

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ * قَالُوا سُبْحَانَكَ لا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ * قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ

“Dia (Alloh) mengajarkan kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu, jika kalian memang orang-orang yang benar!”
Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Al-‘Alim (maha mengetahui) lagi Al-Hakim (maha mempunyai hikmah).”

Alloh berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini!” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Alloh berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepada kalian, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui apa yang kalian lahirkan dan sembunyikan?” (QS. Al-Baqoroh: 31-33)

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian bagi Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu, kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, barulah jin itu sadar bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib, tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’: 14)

قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ الله وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ

“Katakanlah, wahai Muhammad: “Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Alloh itu ada padaku dan tidak pula aku mengetahui yang gaib. Tidak pula aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah seorang malaikat. Aku tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An’am: 50)

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلا ضَرّاً إِلَّا مَا شَاءَ الله وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

“Katakanlah, wahai Muhammad: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan, kecuali yang dikehendaki Alloh. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’rof: 188)

ILMU NUJUM TERMASUK PRAKTEK SIHIR DAN PERDUKUNAN

Sebagian ilmu nujum (perbintangan) diharamkan oleh syariat, karena hal itu termasuk bagian dari ilmu sihir dan perdukunan, yaitu mengaku mengetahui perkara-perkara gaib melalui metode perbintangan dan berdalil dengan perkara-perkara yang samar yang tidak ada keterkaitan secara ilmiyyah. Demikianlah perbedaan posisi bintang-bintang, tidaklah merubah keadaan yang terjadi. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

مَنْ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ، اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ

“Siapa yang mempelajari ilmu nujum, maka ia telah mempelajari bagian dari sihir. Semakin bertambah ilmu nujumnya, semakin bertambah pula sihirnya.” (Hadits shohih, riwayat Abu Dawud dan selainnya dari Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma-)

Ilmu nujum yang terlarang dibagi menjadi tiga macam :

Pertama : meyakini bahwa bintang-bintang dapat berbuat sesuatu dan berpengaruh dengan sendirinya terhadap kejadian-kejadian di bumi. Maknanya bahwa bintang-bintang itulah yang menciptakan kejadian-kejadian di bumi, baik berupa keberuntungan maupun kesialan.

Inilah keyakinan kelomok Shobi’ah (penyembah bintang) yang menjadikan bagi setiap bintang suatu lambang atau patung yang diyakini bahwa arwah para setan menitis kepadanya. Sehingga mereka menyembah lambang serta patung bintang tersebut. Ini adalah bentuk kesyirikan kaum Ibrohim -’alaihis-salam- dan ini adalah syirik akbar dan kekafiran secara ijma’, karena menjadikan makhluk sebagai pencipta selain Alloh.

Kedua : berpedoman dengan gerakan bintang-bintang, baik pertemuan, perpisahan, kemunculan maupun tenggelamnya, untuk menentukan apa yang akan terjadi di muka bumi. Jika muncul bintang ini dan itu, maka akan terjadi ini dan itu. Misalnya: seseorang mempunyai bintang ini dan itu, berdasarkan tanggal kelahirannya, maka ia akan hidup bahagia atau sebaliknya.

Inilah yang dilakukan oleh para ahli nujum dan ini termasuk praktek perdukunan, karena mengabarkan sesuatu yang gaib melalui perantaraan bintang-bintang. Hal ini termasuk dosa besar, bahkan kekufuran terhadap Alloh -’azza wa jalla- yang mengeluarkan seseorang dari Islam, karena menentang dan mendustakan ayat Al-Qur’an sebagaimana tersebut di atas. Para ahli nujum itu didatangi oleh para setan dan dibisikkan kepada mereka apa yang diinginkan dari perkara-perkara yang akan terjadi, kemudian mereka jadikan gerakan bintang sebagai dalil atas kedustaan mereka.

Ketiga : meyakini bahwa dengan kemunculan bintang-bintang tertentu menyebabkan terjadinya kebaikan dan keburukan. Yaitu jika terjadi sesuatu, maka ia sandarkan kejadian tersebut dengan sebab bintang. Maka keyakinan seperti ini termasuk kekufuran dan kesyirikan (syirik ashghor), dosa besar yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam. Dalam sebuah hadits qudsiy, Alloh –ta’ala- berkata :

أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي مُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَب

“Di antara hamba-hamba-Ku ada yang beriman kepada-Ku dan ada yang kufur. Siapa yang mengatakan : “Kita diberi hujan karena keutamaan Alloh dan rahmat-Nya, maka ia beriman kepada-Ku, kufur terhadap bintang-bintang. Siapa yang mengatakan : “Kita diberi hujan dengan sebab bintang ini dan itu,” maka ia telah kufur kepada-Ku, beriman kepada bintang-bintang.” (HR. Bukhori dan Muslim dari Zaid bin Kholid Al-Juhaniy -rodhiyallohu ‘anhu-)

Maka bintang-bintang tersebut tidaklah mendatangkan hujan atau angin, bahkan kejadian-kejadian yang ada di bumi tidak ada hubungannya sama sekali dengan bintang-bintang, baik hubungan sebab-akibat ataupun lainnya.

ILMU NUJUM ZAMAN SEKARANG

Ilmu nujum tersebut telah tersebar secara meluas pada zaman kita sekarang, bahkan dijadikan sebagai mata pencaharian untuk menguras harta manusia dengan batil berdasarkan kedustaan dan penipuan. Ketika ramalan mereka bertepatan dengan kejadian yang ada, langsung mereka siarkan dan sebar-luaskan untuk menampakkan diri bahwa mereka itu hebat disertai dengan sejuta kedustaan untuk melariskan barang dagangannya. Sehingga orang-orang yang lemah imannya dan jauh dari ajaran ilahi akan termakan dengan iklan tersebut, sehingga mereka ikut serta pula melariskannya di tengah-tengah masyarakat. Wallohul musta’an.

Akhirnya kebatilan tersebut marak dan mudah tersebar, apalagi didukung dengan sarana-prasarana yang ada, diantaranya : dengan media masa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, internet dan sebagainya. Ini merupakan sarana terbesar untuk menyebarkannya dengan diberikan judul yang bermacam-macam. Mereka juga menulis ramalan-ramalan bintang tersebut dalam buku-buku yang terjual bebas, baik di toko-toko buku, pasar-pasar, terminal-terminal dan tempat-tempat umum lainnya. Masih banyak lagi sarana yang mereka gunakan untuk menyebar-luaskan ilmu nujum ini, baik dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus, perkumpulan para ahli nujum, terutama di luar negeri seperti Mesir, Irak, negara-negara barat dan selainnya. Juga banyak dari mereka yang membuka praktek-praktek nujum tersendiri secara individu tanpa adanya ikatan dengan suatu perkumpulan.

HUKUM MEMBACA DAN MEYAKINI RAMALAN BINTANG

Mendatangi para ahli nujum dan semisal mereka dari para dukun dan paranormal, bertanya kepada mereka, membenarkan apa yang mereka katakan adalah perkara yang diharamkan dan merupakan dosa besar, bahkan bisa mencapai kesyirikan yang besar, mengeluarkan seseorang dari Islam (murtad). Dalil-dalil As-Sunnah telah menunjukkan akan hal itu, diantaranya :

Pertama : dari Mu’awiyah bin Al-Hakam -rodhiyallohu ‘anhu- bahwasanya beliau berkata :

يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ، وَقَدْ جَاءَ اللهُ بِالْإِسْلَامِ، وَإِنَّ مِنَّا رِجَالًا يَأْتُونَ الْكُهَّانَ، قَالَ: فَلَا تَأْتِهِمْ

“Wahai Rosululloh, saya baru terlepas dari masa jahiliyyah (yaitu baru masuk Islam). Alloh telah datang dengan ajaran Islam. Sebagian orang-orang mendatangi para dukun?” Maka Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jangan mendatangi mereka!” (HR. Muslim)

Para ulama menerangkan bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk sekedar mendatangi para dukun, ahli nujum, paranormal dan sebagainya dikarenakan mereka berbicara tentang perkara-perkara gaib yang terkadang sesuai dengan kenyataannya, sehingga dapat menimbulkan fitnah di kalangan manusia disebabkan kedustaan mereka. (lihat Syarh Shohih Muslim, karya Imam An-Nawawi -rohimahulloh- pada hadits tersebut)

Demikian juga orang yang membaca artikel-artikel tentang perdukunan dan ramalan-ramalan bintang masuk dalam larangan ini, karena dia ingin mengetahui apa yang mereka tuliskan, sehingga hukumnya seperti kalau dia mendatanginya.

Kedua : apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari beberapa istri Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, bahwasanya beliau bersabda :

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Siapa yang mendatangi seorang ‘arrof (peramal, dukun, paranormal dan sebagainya dari orang-orang yang mengaku mengetahui perkara gaib), lalu bertanya kepadanya akan sesuatu, maka sholatnya tidaklah diterima selama empat puluh hari.”

Hadits ini menerangkan bahwa siapa yang mendatangi paranormal (dukun) dan menanyakan sesuatu kepadanya, maka tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari. Hal ini menunjukkan bahwasanya perbuatan tersebut adalah dosa besar. Ini berlaku juga bagi orang yang mencari-cari ramalan-ramalan yang ada di media-media masa untuk mengetahui nasib dirinya atau orang lain dan sebagainya.

Ketiga : hadits Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad -rohimahulloh- dan selainnya, bahwa Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda :

مَنْ أَتَى كَاهِنًا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم

“Siapa yang mendatangi seorang dukun atau ‘arrof dan membenarkan ucapannya, maka dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- (yaitu Al-Quran).”

Hadits-hadits tersebut menunjukkan kepada kita bahwa siapa yang bertanya tentang suatu perkara kepada dukun, ahli nujum atau ‘arrof dan membenarkan atau mempercayainya, maka ia telah kafir, karena ia meyakini bahwa yang ditanya tersebut mengetahui perkara gaib, baik melalui perantaraan para setan atau dengan metode perbintangan dan yang semisalnya.

Demikian juga hukum ini berlaku bagi orang-orang yang mempercayai dan membenarkan ramalan-ramalan bintang. Adapun jika tidak mempercayai atau membenarkannya, maka tidaklah kafir, tetapi tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari, sebagaimana tersebut dalam hadits istri Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- riwayat Imam Muslim di atas.

Keempat : adapun jika mendatangi dukun atau ahli nujum (para peramal) untuk membongkar kedustaan dan kejahatan mereka di hadapan khalayak ramai dan ia mampu untuk itu, maka hal ini diperolehkan dalam syariat, sebagaimana dalam Shohih Bukhori dan Muslim, dari Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah mendatangi Ibnu Shoyyad (salah seorang dukun di zaman itu) dan bertanya: “Siapa yang mendatangimu?” Dia menjawab: “Seorang yang jujur dan pendusta.” Lalu Nabi bertanya: “Telah tercampur-baur perkaranya atasmu.” Lalu Nabi berkata kepadanya: “Aku telah menyembunyikan sesuatu untukmu.” Dia berkata: “Dukh …” Lalu Nabi membentaknya :

اخْسَأْ، فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ

“Cih…, kamu tidaklah lebih dari sekedar dukun!”

Dalam hadits ini Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mendatangi seorang dukun untuk membongkar kedustaan dan kebohongannya di hadapan para sahabat, bahwa dia tidaklah mengetahui yang gaib, hanya saja setan telah membisikkan kepadanya berita-berita yang dibumbui dengan kedustaan yang banyak.

Hukum ini juga berlaku jika membaca buku-buku ilmu nujum, ramalan-ramalan bintang dan sebagainya untuk membantah dan membongkar kedustaan paranormal, maka ini dibolehkan, bahkan bisa menjadi wajib bagi seorang yang berilmu dari kalangan ulama agar umat terselamatkan dari kesyirikan dan kekufuran tersebut.
Selain dari tujuan mulia ini, maka tidak diperbolehkan menelaah buku-buku perdukunan dan ramalan yang ada sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahkan sebaliknya hendaknya tulisan-tulisan tersebut dibakar dan dimusnahkan.

Demikianlah pembahasan sekilas tentang bahaya ramalan bintang, semoga dengan ini dapat menjadikan kaum muslimin semakin waspada terhadap hal-hal yang dapat merusak agamanya dan pandai-pandai menjaga diri, sehingga bisa selamat sampai akhir hayat kita (husnul-khotimah). Wabillahit-taufiq.

Rujukan :
  • Fathul Majid Syarh Kitab Tauhid, karya Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alusy-Syaikh –rohimahulloh-, tahqiq Syaikh Ibnu Hizam –hafidzohulloh-; 
  • Al-Qoulul Mufid ‘Ala Kitab Tauhid, karya Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin –rohimahulloh-; 
  • At-Tamhid Syarh Kitab Tauhid, oleh Syaikh Sholeh Alusy-Syaikh –waffaqohulloh-; 
  • At-Tanjim wal Munajjimun wa Hukmu Dzalika fil Islam, oleh Abdul Majid bin Salim Al-Masy’abiy –waffaqohulloh-)

Sumber : RAMALAN BINTANG,
Ditulis : Mushlih Abu Sholeh Al-Madiuniy –ro’ahulloh-
Markiz Ahlussunnah – Darul Hadits Dammaj, Yaman -harosahulloh-

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]